Rabu, 08 April 2015

KAJIAN FILOSOFIS ILMU DAN KEBUDAYAAN

KAJIAN FILOSOFIS ILMU DAN KEBUDAYAAN
(Oleh: Muhammad Rosid Ridho, S.Pd.I)

Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial di mana tidak pernah terlepas dari keniscayaan untuk selalu berinteraksi antara individu dengan individu lainnya telah membentuk kelompok-kelompok yang masing-masing dipersatukan dengan adat, ritual, hukum, bahasa dan beberapa ciri lainnya yang kemudian disebut dengan masyarakat. Antar kelompok atau masyarakat pun ketika memiliki beberapa inti persamaan memungkinkan untuk berbaur dalam balutan masyarakat yang lebih besar.  Hal ini yang menjadikan alasan munculnya istilah suku, ras, pulau, daerah, bangsa bahkan benua. Terminologi ini sejalan dengan pandangan bahwa masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh suatu adat, ritus, atau bahkan ras, dan hidup bersama (Shihab, 1996:319 ).
Kebudayaan sebagai kumpulan dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bersifat historis dan dinamis merupakan salah satu bukti ciri khas kesempurnaan manusia atas kepemilikan akal budi yang tidak di miliki oleh makhluk lainnya. Kesamaan nilai-nilai budaya yang dimiliki setiap anggota masyarakat yang tercermin ke dalam sebuah kebudayaan tertentu merupakan mediator yang kokoh sebagai pemersatu ikatan masyarakat. Walaupun muncul pandangan (Arif, 2010 : 33-34) bahwa sering kali entitas kebudayaan itu bukan benar-benar cerminan dari nilai budaya tiap individu masyarakat namun merupakan dominasi policy otoritas negara dan dominasi asumsi kebenaran pengetahuan yang diwacanakan oleh otoritas pengetahuan yang sedang berkuasa.
Bersamaan dengan perkembangan kebudayaan, menuju sebuah peradaban manusia secara progresif, berkembang pula ilmu pengetahuan. Pemahaman manusia yang terus berkembang dan beragam tentang suatu pengetahuan, melalui berbagai kajian ilmiah melahirkan beragam ilmu pengetahuan baru sesuai dengan paradigma dan nilai budaya yang dimiliki oleh masing-masing peneliti.

A.      PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Manusia sebagai makhluk berfikir, selalu ingin tahu tentang sesuatu. Rasa ingin tahu mendorong manusia mengemukakan pertanayaan. Bertanya tentang dirinya, lingkungan di sekelilingnya, ataupun berbagai peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dengan bertanya manusia mengumpulkan segala sesuatu yang diketahuinya. Begitulah manusia mengumpulkan pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengetahuan adalah produk dari tahu, yakni mengerti sesudah melihat, menyaksikan dan mengalami (KBBI,1990:884). Pengetahuan ini didapatkan dengan cara sangat alamiah dan sederhana. Menurut Koentjaraningrat yang dinukil Jalaluddin dalam bukunya yang berjudul (Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2013:87) Tak jarang dalam kebudayaan berbagai bangsa, kesimpulan suatu pengetahuan dihubungkan dengan mitologi, ilmu gaib dan pedukunan. Hal ini sangat wajar karena persepsi seseorang terhadap objek yang diamati terbalut dengan subjektifitas manusia awam yang sarat dengan keyakinan akan roh dan kekuatan gaib.
Seiring dengan berkembangnya kemampuan berfikir, manusia mulai meragukan kebenaran pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman seperti itu. Pengetahuan yang bersifat alamiah. Apalagi yang sudah terkontaminasi oleh unsur-unsur magis dan takhayul. Pengetahuan seperti ini ternyata mengandung kebenaran yang bersifat ramalan.
Pada akhirnya manusia menghendaki kebenaran yang dapat diuji secara logis dan empiris.  Untuk itu manusia menciptakan metode ilmiah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat diakui jika melalui metode penalaran yang logis dan dapat diuji dengan metode ilmiah. Kebenaran ini disebut dengan Ilmu Pengetahuan atau Pengetahuan Ilmiah . pandangan semacam ini senada dengan pengertian bahwa Ilmu Pengetahuan adalah produk dorongan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan bertumpu pada syarat-syarat tertentu, ilmu pengetahuan berbeda dengan pengetahuan biasa (Jalaluddin, 2013:108). Adapun syarat-syarat yang dimaksud secara garis besar  mencakup sebagai berikut:
1.      Kerangka berfikir ilmiah, yaitu: penalaran, logika, analisis, konsepsional dan kritis.
2.      Sarana berfikir ilmiah, yaitu: bahasa, matematika dan statistika.
3.      Kriteria Kebenaran, yaitu: teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatis.
Secara ontologis, ilmu pengetahuan membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula penjelajahan yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia. Sehingga kebenaran agama bersifat imani bukan ilmiah (Jujun Suriasumantri, 1984:105). Agama bukan merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah walaupun di sana terdapat pula pengetahuan yang dapat dikaji secara ilmiah.
B.       PENGERTIAN KEBUDAYAAN
Secara etimologi kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang bermakna budi atau akal (Surajiyo,2007:137). Dengan demikian ke-budaya-an diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal manusia. Dalam istilah lain kebudayaan merupakan segala yang muncul sebagai produk dari akal atau budi manusia.
Menurut E.B Taylor (1871), Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Jujun S. Suriasumantri, 1984:261). Definisi ini memberikan penegasan bahwa kebudayaan meliputi semua aktivitas atau produk manusia baik yang bersifat material maupun non material (spiritual). Produk manusia yang bersifat material antara lain alat teknologis, infrastruktur, arsitektur, biokultural, rekayasa genetika dan lain sebagainya. Sedangkan produk manusia yang bersifat non material seperti sistem nilai, sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, kosmologi, ekologi dan lain sebagainya.
Kuntjaraningrat mengartikan Kebudayaan dengan terminologi yang lebih rinci dan lengkap yaitu mencakup sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan (Suriasumantri, 1984:261).
Dengan demikian, pada tiap-tiap kebudayaan yang ada di dunia selalu memiliki unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal. Adapun unsur-unsur tersebut adalah: 1) bahasa, 2) sistem pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem mata pencaharian hidup, 6) sistem religi, dan 7) kesenian. Ketujuh unsur tersebut termanifestasikan ke dalam tiga entitas, yaitu sistem budaya, sistem sosial dan kebudayaan fisik (Kuntjaraningrat dalam Jalaluddin, 2013 : 231). Sedangkan menurut Kroeber dan Kluckhohn, 1952 (dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Fisafat UGM, 2001) dijelaskan bahwa kebudayaan memiliki beberapa komponen yang kemudian dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.           Hubungan antara manusia dengan alam, yang berkaitan dengan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, teknik, kebudayaan “material”.
2.           Hubungan antara manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat,
3.           Aspek-aspek subjektif, gagasan, perilaku, nilai, tindakan dan ilham, kebudayaan “spiritual”.
Manusia merupakan makhluk multidimensional yang sangat unik. Dalam diri manusia menyimpan jutaan rahasia yang belum sepenuhnya terungkap, namun demikian telah banyak pula pengetahuan tentang keunikan hakekat manusia seihngga berbagai label telah disematkan kepada manusia seperti makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang (homo educandum), makhluk atau manusia tukang (homo faber) dan makhluk penilai (homo mensura). Potensi yang dimiliki oleh manusia mampu mengembangkan dirinya, melalui pengamatan terhadap lingkungan sekitar (Jalaluddin, 2013:230). Kecerdasan dan kreativitas ini mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini manusia berbeda dengan binatang, kebudayaanlah dalam konteks ini yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow (dalam Jujun S. Suriasumantri, 1984:261) mengindentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Sementara binatang kebutuhannya terpusat pada dua klompok pertama dari kategori maslow yakni kebutuhan fisiologis dan rasa aman dan memenuhi kebutuhan ini secara instinktif. Karena manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut maka manusia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan tentang cara hidup.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak secara instinktif ini manusia diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik disamping itu manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya terkandung dorongan-dorongaan hidup yang dasar instink, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kejadian. Maka pilihan inilah yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya, pada dasarnya tata hidup merupakan  pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia, maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan, sarana kebudayaan ini merupakan perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan  produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Transformasi dan pengembangan kebudayaan dalam sebuah masyarakat dapat berjalan secara alamiah maupun melalui rekayasa kebudayaan. Secara alamiah berarti kebudayaan yang berkembang adalah akumulasi budaya individu yang original tanpa mendapatkan tekanan dari individu atau kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan berkembang melalui rekayasa budaya adalah kebudayaan yang berkembang dalam sebuah masyarakat adalah hasil dari dominasi otoritas negara melalui policy atau kebijakan yang diberlakukan. Suatu individu dikondisikan untuk menerima dan melaksanakan nilai-nilai tertentu di dalam bermasyarakat sesuai kebijakan yang telah dibuat oleh otoritas yang berlaku. Misalkan setiap warga dalam sebuah masyarakat beralih dari penggunaan minyak tanah kepada penggunaan LPG untuk keperluan memasak. Perilaku ini disebabkan karena pemerintah memberlakukan kebijakan menghentikan subsidi minyak tanah dan mendistribusikan kompor dan tabung LPG secara gratis kepada setiap warga. Budaya penggunaan LPG seperti ini jelas bukan hasil dari kegiatan budi individu masyarakat melainkan karena tidak ada pilihan.
Transformasi dan pengembangan kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu pada generasi selanjutnya.
C.       HUBUNGAN ILMU PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN
Keterkaitan ilmu Pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari beberapa sisi, sebagai berikut:
1.        Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi  sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dan pemahaman itu berkembang berdasarkan pemahaman dari suatu kebudayaan dan satu pemahaman akan berubah berdasarkan ilmu yang dipahaminya.
D. O’Neil, dalam “Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial”:
a.        Tekanan kerja dalam masyarakat
b.        Keefektifan komunikasi
c.        Perubahan lingkungan alam
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
2.        Penetrasi kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
a.        Penetrasi damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Karena nilai-nilai agama yang terkandung berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan peradaban dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan sebuah makna atau semacam arti yang membedakan seorang manusia dari wujud berjuta galaksi meskipun bidang ilmu dan teknologi berkembang pesat tetapi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki dan ini menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama seperti juga seni dengan ilmu maka pun agama dengan ilmu saling melengkapi : kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi. Albert Einstein mengungkapna hakikat ini dengan kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa Ilmu adalah lumpuh”( Jujun S. Suriasumantri, 1984:270).
b.        Penetrasi kekerasan (penetration violante)
Masuknya sebuah kebudayaan  dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Talcot parsons mengatakan; ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukkan watak suatu bangsa.  Maka menurut fungsinya, ilmu bisa digolongkan menjadi dua golonagan. Pertama ilmu sebagai suatu cara berpikir, dan kedua ilmu sebagai asas moral. Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan bagaimana ilmu bisa dikatakan sebagai suatu cara berpikir dan ilmu sebagai asas moral tersebut.
1.        Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan  produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
Beberapa karakteristik ilmu sebagai proses atau syarat berpikir ilmiah.Pertama, ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kedua, alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Ketiga, pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.  Setelah  itu maka, pernyataan yang dijabarkan secara logis, dan telah teruji secara empiris,  maka ilmu dapat dianggap benar secara ilmiah dan ini akan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Ke empat, mekanisme terbuka terhadap koreksi.
a.       Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak maka seorang ilmuwan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu.
Kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional mereka tidak mengabdi golongan, politik atau kelompok-kelompok lainnya, secara internasional mereka tidak mengabdi ras, ideology, dan factor-faktor pembatas lainnya. Karakteristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal. (Jujun S. Suriasumantri, 1984:273) 
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta, penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
            Untuk terlaksananya pengembangan kebudayaan nasional, diperlukan tujuh nilai yang terpancar dari hakekat keilmuan, yaitu: kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Pengabdian universal ini  dalam skala nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa ikatan primordial yang mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan kebenaran. Ketujuh nilai tersebut akan selalu relevan dalam proses pergerakan kebudayaan yang semakin progresif. Semakin tinggi tingkat keilmuan suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingginya nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa yang menentukan tingkatan kemuliaan suatu peradaban.
Pengembangan keilmuan kini masih terkendala dengan adanya dua pola kebudayaan, yaitu kebudayaan ilmuwan dan non-ilmuwan. Di Indonesia kita masih sangat merasakan dampak dari dikotomi ilmu alam dan ilmu sosial di mana peserta didik yang memiliki kemampuan matematika dengan baik diasumsikan sangat tepat untuk mengambil spesialisasi ilmu alam, sedangkan peserta didik yang kurang mampu dalam hal matematika dipaksa untuk mengambil spesialisasi ilmu sosial.
Model pengembangan keilmuan seperti itu tentu saja sudah tidak relevan dengan kebudayaan yang sudah berkembang pada jaman sekarang. Ilmu Pengetahuan sudah berkembang begitu pesat yang memungkinkan adanya dialog dan integrasi antar disiplin ilmu. Logika-logika dalam merumuskan teori ilmu sosial pun juga memerlukan sarana berfikir matematika sebagai penalaran deduktif. Begitu pula ilmu alam juga memerlukan ilmu pengetahuan sosial dalam membantu menerjemahkan simbol-simbol empiris.
Dikotomi ilmu sudah saatnya untuk dihindari agar mendapatkan kemajuan ilmu pengetahuan yang seimbang dan sempurna. Dengan demikian ilmu sebagai bagian dari kebudayaan mampu mendorong perkembangan kebudayaan itu sendiri.
            Kaitannya dalam usaha Pengembangan Kebudayaan Nasional di Indonesia agar lebih maju dan beradab perlu adanya peningkatan keilmuan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan konteks kebudayaan masyarakat setempat.
2.      Ilmu bukan merupakan satu-satunya cara dalam menemukan kebenaran sebuah kebenaran pengetahuan. Pendewaan terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus dihindarkan.
3.      Asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode yang digunakan dalam kegiatan tersebut. Seorang ilmuan menggunakan metode ilmiah dalam menemukan kebenaran karena dia percaya kepada metode tersebut. Perlakuan yang sama seharusnya juga diberikan kepada metode-metode lain.
4.      Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan dengan pendidikan moral. Secara aksiologis semakin banyaknya Ilmu yang dimiliki seharusnya mampu menghantarkan seseorang memiliki moral yang baik.
5.      Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut masalah keilmuan. Pengembangan yang seimbang antara ilmu dan filsafat akan bersifat saling menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap landasan epistemologis (metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.
6.      Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas kekangan struktur kekuasaan. Kegiatan mimbar akademik yang didukung oleh tradisi keilmuan yang sehat harus dijunjung tinggi. Walaupun demikian, pada konteks tertentu pemberian kebebasan secara mutlak terhadap sejumlah kegiatan keilmuan tidak selamanya dibenarkan. Misalkan dalam hal pengembangan energi nuklir, harus mendapatkan kontrol dari berbagai pihak.

D.KESIMPULAN
Ilmu Pengetahuan adalah produk dorongan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah metode ilmiah. Secara ontologis, ilmu pengetahuan membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, karena metode ilmiah mensyaratkan hanya pada wilayah empiris. Di luar itu, misalkan agama memasuki pula penjelajahan yang bersifat transendental yang berada di luar pengalaman manusia. Sehingga kebenaran agama bersifat imani bukan ilmiah (Jujun Suriasumantri, 1984:105). Agama bukan merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah walaupun di sana terdapat pula pengetahuan yang dapat dikaji secara ilmiah.
Kebudayaan merupakan totalitas aktivitas atau produk manusia baik yang bersifat material maupun non material (spiritual). Produk manusia yang bersifat material antara lain alat teknologis, infrastruktur, arsitektur, biokultural, rekayasa genetika dan lain sebagainya. Sedangkan produk manusia yang bersifat non material seperti sistem nilai, sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, kosmologi, ekologi dan lain sebagainya.
Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain. Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kebudayaan nasional, perlu adanya usaha pengembangan keilmuan yang tepat agar perkembangaan kebudayaan berjalan menuju sebuah peradaban yang lebih baik sesuai dengan semangat kearifan masyarakat setempat (local wisdom).

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. M. Quraish Shihab,  WAWASAN ALQUR’AN, Bandung: Mizan, 1996
Syaiful Arif, REFILOSOFI KEBUDAYAAN (Pergeseran Pascastruktural), Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2010
Drs. Surajiyo, FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA, ,Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Suriasumantri Jujun S., FILSAFAT ILMU (Sebuah Pengantar Populer), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1984
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Fisafat UGM, FILSAFAT ILMU (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan), Yogyakarta: Liberty,  2001
Prof. Dr. H. Jalaluddin, FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Drs. H. Mohammad Adib, MA, FILSAFAT ILMU, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010




Tidak ada komentar:

Posting Komentar