KAJIAN FILOSOFIS ILMU
DAN KEBUDAYAAN
(Oleh: Muhammad Rosid
Ridho, S.Pd.I)
Eksistensi manusia
sebagai makhluk sosial di mana tidak pernah terlepas dari keniscayaan untuk
selalu berinteraksi antara individu dengan individu lainnya telah membentuk
kelompok-kelompok yang masing-masing dipersatukan dengan adat, ritual, hukum,
bahasa dan beberapa ciri lainnya yang kemudian disebut dengan masyarakat. Antar
kelompok atau masyarakat pun ketika memiliki beberapa inti persamaan memungkinkan
untuk berbaur dalam balutan masyarakat yang lebih besar. Hal ini yang menjadikan alasan munculnya
istilah suku, ras, pulau, daerah, bangsa bahkan benua. Terminologi ini sejalan
dengan pandangan bahwa masyarakat adalah kumpulan sekian banyak individu kecil
atau besar yang terikat oleh suatu adat, ritus, atau bahkan ras, dan hidup
bersama (Shihab, 1996:319 ).
Kebudayaan sebagai
kumpulan dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia yang bersifat historis dan dinamis
merupakan salah satu bukti ciri khas kesempurnaan manusia atas kepemilikan akal
budi yang tidak di miliki oleh makhluk lainnya. Kesamaan nilai-nilai budaya
yang dimiliki setiap anggota masyarakat yang tercermin ke dalam sebuah
kebudayaan tertentu merupakan mediator yang kokoh sebagai pemersatu ikatan
masyarakat. Walaupun muncul pandangan (Arif, 2010 : 33-34) bahwa sering kali entitas
kebudayaan itu bukan benar-benar cerminan dari nilai budaya tiap individu
masyarakat namun merupakan dominasi policy otoritas negara dan dominasi asumsi
kebenaran pengetahuan yang diwacanakan oleh otoritas pengetahuan yang sedang
berkuasa.
Bersamaan dengan
perkembangan kebudayaan, menuju sebuah peradaban manusia secara progresif,
berkembang pula ilmu pengetahuan. Pemahaman manusia yang terus berkembang dan beragam
tentang suatu pengetahuan, melalui berbagai kajian ilmiah melahirkan beragam ilmu
pengetahuan baru sesuai dengan paradigma dan nilai budaya yang dimiliki oleh masing-masing
peneliti.
A. PENGERTIAN ILMU PENGETAHUAN
Manusia sebagai
makhluk berfikir, selalu ingin tahu tentang sesuatu. Rasa ingin tahu mendorong
manusia mengemukakan pertanayaan. Bertanya tentang dirinya, lingkungan di
sekelilingnya, ataupun berbagai peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dengan
bertanya manusia mengumpulkan segala sesuatu yang diketahuinya. Begitulah
manusia mengumpulkan pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
pengetahuan adalah produk dari tahu, yakni mengerti sesudah melihat,
menyaksikan dan mengalami (KBBI,1990:884). Pengetahuan ini didapatkan dengan
cara sangat alamiah dan sederhana. Menurut Koentjaraningrat yang dinukil
Jalaluddin dalam bukunya yang berjudul (Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2013:87) Tak
jarang dalam kebudayaan berbagai bangsa, kesimpulan suatu pengetahuan dihubungkan
dengan mitologi, ilmu gaib dan pedukunan. Hal ini sangat wajar karena persepsi
seseorang terhadap objek yang diamati terbalut dengan subjektifitas manusia
awam yang sarat dengan keyakinan akan roh dan kekuatan gaib.
Seiring dengan
berkembangnya kemampuan berfikir, manusia mulai meragukan kebenaran pengetahuan
yang diperoleh melalui pengalaman seperti itu. Pengetahuan yang bersifat
alamiah. Apalagi yang sudah terkontaminasi oleh unsur-unsur magis dan takhayul.
Pengetahuan seperti ini ternyata mengandung kebenaran yang bersifat ramalan.
Pada akhirnya manusia
menghendaki kebenaran yang dapat diuji secara logis dan empiris. Untuk itu manusia menciptakan metode ilmiah
untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat diakui jika melalui metode penalaran
yang logis dan dapat diuji dengan metode ilmiah. Kebenaran ini disebut dengan Ilmu
Pengetahuan atau Pengetahuan Ilmiah . pandangan semacam ini senada dengan
pengertian bahwa Ilmu Pengetahuan adalah produk dorongan ingin tahu manusia
yang dibangun berdasarkan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan
syarat-syarat tertentu. Dengan bertumpu pada syarat-syarat tertentu, ilmu
pengetahuan berbeda dengan pengetahuan biasa (Jalaluddin, 2013:108). Adapun
syarat-syarat yang dimaksud secara garis besar
mencakup sebagai berikut:
1.
Kerangka berfikir
ilmiah, yaitu: penalaran, logika, analisis, konsepsional dan kritis.
2.
Sarana berfikir
ilmiah, yaitu: bahasa, matematika dan statistika.
3.
Kriteria Kebenaran,
yaitu: teori koherensi, teori korespondensi dan teori pragmatis.
Secara ontologis, ilmu
pengetahuan membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula penjelajahan yang bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman manusia. Sehingga kebenaran agama
bersifat imani bukan ilmiah (Jujun Suriasumantri, 1984:105). Agama bukan
merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah walaupun di sana terdapat pula
pengetahuan yang dapat dikaji secara ilmiah.
B. PENGERTIAN
KEBUDAYAAN
Secara etimologi kebudayaan
berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu buddhayah
yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi
yang bermakna budi atau akal (Surajiyo,2007:137). Dengan demikian ke-budaya-an
diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal manusia. Dalam istilah lain
kebudayaan merupakan segala yang muncul sebagai produk dari akal atau budi
manusia.
Menurut E.B Taylor
(1871), Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Jujun S. Suriasumantri,
1984:261). Definisi ini memberikan penegasan bahwa kebudayaan meliputi semua
aktivitas atau produk manusia baik yang bersifat material maupun non material
(spiritual). Produk manusia yang bersifat material antara lain alat teknologis,
infrastruktur, arsitektur, biokultural, rekayasa genetika dan lain sebagainya.
Sedangkan produk manusia yang bersifat non material seperti sistem nilai,
sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, kosmologi, ekologi
dan lain sebagainya.
Kuntjaraningrat
mengartikan Kebudayaan dengan terminologi yang lebih rinci dan lengkap yaitu
mencakup sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian
serta sistem teknologi dan peralatan (Suriasumantri, 1984:261).
Dengan demikian, pada
tiap-tiap kebudayaan yang ada di dunia selalu memiliki unsur-unsur kebudayaan
yang bersifat universal. Adapun unsur-unsur tersebut adalah: 1) bahasa, 2) sistem
pengetahuan, 3) organisasi sosial, 4) sistem peralatan hidup dan teknologi, 5) sistem
mata pencaharian hidup, 6) sistem religi, dan 7) kesenian. Ketujuh unsur
tersebut termanifestasikan ke dalam tiga entitas, yaitu sistem budaya, sistem
sosial dan kebudayaan fisik (Kuntjaraningrat dalam Jalaluddin, 2013 : 231).
Sedangkan menurut Kroeber dan Kluckhohn, 1952 (dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Fisafat UGM, 2001) dijelaskan bahwa kebudayaan memiliki beberapa
komponen yang kemudian dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu:
1.
Hubungan antara manusia
dengan alam, yang berkaitan dengan manusia dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya, teknik, kebudayaan “material”.
2.
Hubungan antara
manusia yang terkait dengan hasrat dan upaya untuk meraih status dan hasil
dalam kebudayaan masyarakat,
3.
Aspek-aspek subjektif,
gagasan, perilaku, nilai, tindakan dan ilham, kebudayaan “spiritual”.
Manusia merupakan makhluk multidimensional yang sangat
unik. Dalam diri manusia menyimpan jutaan rahasia yang belum sepenuhnya
terungkap, namun demikian telah banyak pula pengetahuan tentang keunikan
hakekat manusia seihngga berbagai label telah disematkan kepada manusia seperti
makhluk yang memiliki potensi untuk berkembang (homo educandum), makhluk atau manusia tukang (homo faber) dan makhluk penilai
(homo mensura). Potensi yang dimiliki oleh manusia mampu mengembangkan
dirinya, melalui pengamatan terhadap lingkungan sekitar (Jalaluddin, 2013:230).
Kecerdasan dan kreativitas ini mendorong manusia untuk melakukan berbagai
tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini manusia berbeda dengan binatang, kebudayaanlah dalam
konteks ini yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow (dalam Jujun S. Suriasumantri, 1984:261) mengindentifikasikan
lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi,
harga diri dan pengembangan potensi. Sementara binatang kebutuhannya terpusat
pada dua klompok pertama dari kategori maslow yakni kebutuhan fisiologis dan
rasa aman dan memenuhi kebutuhan ini secara instinktif. Karena manusia tidak
mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut
maka manusia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan tentang cara hidup.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak secara instinktif
ini manusia diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar,
berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik disamping itu
manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya terkandung
dorongan-dorongaan hidup yang dasar instink, perasaan, pikiran, kemauan dan
fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna
dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian
terhadap objek dan kejadian. Maka pilihan inilah yang menjadi tujuan dan isi
kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan
menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk
tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang
dikandungnya, pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang
konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat
ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi
manusia, maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan
kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan, sarana kebudayaan ini merupakan
perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan
atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Transformasi dan
pengembangan kebudayaan dalam sebuah masyarakat dapat berjalan secara alamiah maupun melalui
rekayasa kebudayaan. Secara alamiah berarti kebudayaan yang berkembang adalah
akumulasi budaya individu yang original tanpa mendapatkan tekanan dari individu
atau kelompok lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan berkembang melalui
rekayasa budaya adalah kebudayaan yang berkembang dalam sebuah masyarakat
adalah hasil dari dominasi otoritas negara melalui policy atau kebijakan yang
diberlakukan. Suatu individu dikondisikan untuk menerima dan melaksanakan
nilai-nilai tertentu di dalam bermasyarakat sesuai kebijakan yang telah dibuat
oleh otoritas yang berlaku. Misalkan setiap warga dalam sebuah masyarakat
beralih dari penggunaan minyak tanah kepada penggunaan LPG untuk keperluan
memasak. Perilaku ini disebabkan karena pemerintah memberlakukan kebijakan
menghentikan subsidi minyak tanah dan mendistribusikan kompor dan tabung LPG
secara gratis kepada setiap warga. Budaya penggunaan LPG seperti ini jelas
bukan hasil dari kegiatan budi individu masyarakat melainkan karena tidak ada
pilihan.
Transformasi dan
pengembangan kebudayaan
sangat
erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam
suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar
inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu pada generasi selanjutnya.
C. HUBUNGAN ILMU
PENGETAHUAN DAN KEBUDAYAAN
Keterkaitan ilmu Pengetahuan dan kebudayaan dapat dilihat dari beberapa sisi, sebagai berikut:
1.
Perubahan Sosial
Perubahan sosial
budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah
gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam
setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan
sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dan pemahaman itu
berkembang berdasarkan pemahaman dari suatu kebudayaan dan satu pemahaman akan
berubah berdasarkan ilmu yang dipahaminya.
D. O’Neil, dalam
“Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan sosial”:
a.
Tekanan kerja dalam
masyarakat
b.
Keefektifan komunikasi
c.
Perubahan lingkungan
alam
Perubahan budaya juga
dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru,
dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es
berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing
inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
2.
Penetrasi kebudayaan
Yang dimaksud dengan
penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan
lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
a.
Penetrasi damai (penetration
pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya,
masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua
macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya
khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Karena nilai-nilai agama yang terkandung berfungsi sebagai
sumber moral bagi segenap kegiatan hakikat semua upaya manusia dalam lingkup
kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau
tidak maka hal ini bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan
peradaban dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan sebuah makna
atau semacam arti yang membedakan seorang manusia dari wujud berjuta galaksi
meskipun bidang ilmu dan teknologi berkembang pesat tetapi ternyata tidak
memberikan kebahagiaan yang hakiki dan ini menyebabkan manusia berpaling
kembali kepada nilai-nilai agama seperti juga seni dengan ilmu maka pun agama
dengan ilmu saling melengkapi : kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka
agama adalah mutlak dan abadi. Albert Einstein mengungkapna hakikat ini dengan
kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa Ilmu adalah lumpuh”( Jujun
S. Suriasumantri, 1984:270).
b.
Penetrasi kekerasan (penetration
violante)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan
merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman
penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan
yang merusak keseimbangan dalam masyarakat
Ilmu merupakan bagian
dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan
di sini merupakan sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya.
Ilmu dan kebudayaan
berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu
pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi
kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi
jalannya kebudayaan. Talcot parsons mengatakan; ilmu dan kebudayaan saling
mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang
secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi
dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai
yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai
yang mengisi pembentukkan watak suatu bangsa. Maka menurut fungsinya, ilmu bisa digolongkan menjadi
dua golonagan. Pertama ilmu sebagai suatu cara berpikir, dan kedua ilmu sebagai
asas moral. Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan bagaimana ilmu bisa
dikatakan sebagai suatu cara berpikir dan ilmu sebagai asas moral tersebut.
1.
Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu
cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang
dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan
pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan
berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses berpikir menurut
langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir
ilmiah.
Beberapa karakteristik
ilmu sebagai proses atau syarat berpikir ilmiah.Pertama, ilmu
mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kedua,
alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah
ada. Ketiga, pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran
objektif. Setelah itu maka, pernyataan yang dijabarkan
secara logis, dan telah teruji secara empiris, maka ilmu dapat
dianggap benar secara ilmiah dan ini akan memperkaya khazanah pengetahuan
ilmiah. Ke empat, mekanisme terbuka terhadap koreksi.
a.
Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang
dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Dalam menetapkan suatu pernyataan
apakah itu benar atau tidak maka seorang ilmuwan akan mendasarkan penarikan
kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan
kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan
pernyataan itu.
Kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan yang universal
bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional
mereka tidak mengabdi golongan, politik atau kelompok-kelompok lainnya, secara
internasional mereka tidak mengabdi ras, ideology, dan factor-faktor pembatas
lainnya. Karakteristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan
kebenaran dan pengabdian secara universal. (Jujun S. Suriasumantri, 1984:273)
Pengembangan
kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang
sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih
mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini
pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai
konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta, penumbuhan
nilai-nilai baru yang fungsional.
Untuk
terlaksananya pengembangan kebudayaan nasional, diperlukan tujuh nilai yang
terpancar dari hakekat keilmuan, yaitu: kritis, rasional, logis, obyektif,
terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Pengabdian universal
ini dalam skala nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa
ikatan primordial yang mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya
kriteria dalam menentukan kebenaran. Ketujuh nilai tersebut akan selalu relevan
dalam proses pergerakan kebudayaan yang semakin progresif. Semakin tinggi
tingkat keilmuan suatu masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingginya
nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa yang menentukan tingkatan kemuliaan suatu
peradaban.
Pengembangan keilmuan
kini masih terkendala dengan adanya dua pola kebudayaan, yaitu kebudayaan
ilmuwan dan non-ilmuwan. Di Indonesia kita masih sangat merasakan dampak dari
dikotomi ilmu alam dan ilmu sosial di mana peserta didik yang memiliki
kemampuan matematika dengan baik diasumsikan sangat tepat untuk mengambil
spesialisasi ilmu alam, sedangkan peserta didik yang kurang mampu dalam hal
matematika dipaksa untuk mengambil spesialisasi ilmu sosial.
Model pengembangan
keilmuan seperti itu tentu saja sudah tidak relevan dengan kebudayaan yang
sudah berkembang pada jaman sekarang. Ilmu Pengetahuan sudah berkembang begitu
pesat yang memungkinkan adanya dialog dan integrasi antar disiplin ilmu.
Logika-logika dalam merumuskan teori ilmu sosial pun juga memerlukan sarana
berfikir matematika sebagai penalaran deduktif. Begitu pula ilmu alam juga
memerlukan ilmu pengetahuan sosial dalam membantu menerjemahkan simbol-simbol
empiris.
Dikotomi ilmu sudah
saatnya untuk dihindari agar mendapatkan kemajuan ilmu pengetahuan yang
seimbang dan sempurna. Dengan demikian ilmu sebagai bagian dari kebudayaan
mampu mendorong perkembangan kebudayaan itu sendiri.
Kaitannya dalam usaha Pengembangan
Kebudayaan Nasional di Indonesia agar lebih maju dan beradab perlu adanya
peningkatan keilmuan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.
Ilmu merupakan bagian
dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan
kegiatan keilmuan harus memperhatikan konteks kebudayaan masyarakat setempat.
2.
Ilmu bukan merupakan
satu-satunya cara dalam menemukan kebenaran sebuah kebenaran pengetahuan.
Pendewaan terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus
dihindarkan.
3.
Asumsi dasar dari
semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode
yang digunakan dalam kegiatan tersebut. Seorang ilmuan menggunakan metode
ilmiah dalam menemukan kebenaran karena dia percaya kepada metode tersebut.
Perlakuan yang sama seharusnya juga diberikan kepada metode-metode lain.
4.
Pendidikan keilmuan
harus sekaligus dikaitkan dengan dengan pendidikan moral. Secara aksiologis semakin
banyaknya Ilmu yang dimiliki seharusnya mampu menghantarkan seseorang memiliki moral
yang baik.
5.
Pengembangan bidang
keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang
menyangkut masalah keilmuan. Pengembangan yang seimbang antara ilmu dan
filsafat akan bersifat saling menunjang dan saling mengontrol terutama terhadap
landasan epistemologis (metode) dan aksiologis (nilai) keilmuan.
6.
Kegiatan ilmiah
haruslah bersifat otonom yang terbebas kekangan struktur kekuasaan. Kegiatan
mimbar akademik yang didukung oleh tradisi keilmuan yang sehat harus dijunjung
tinggi. Walaupun demikian, pada konteks tertentu pemberian kebebasan secara
mutlak terhadap sejumlah kegiatan keilmuan tidak selamanya dibenarkan. Misalkan
dalam hal pengembangan energi nuklir, harus mendapatkan kontrol dari berbagai
pihak.
D.KESIMPULAN
Ilmu Pengetahuan
adalah produk dorongan ingin tahu manusia yang dibangun berdasarkan ingin tahu
manusia yang dibangun berdasarkan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat
tersebut adalah metode ilmiah. Secara ontologis, ilmu pengetahuan membatasi
diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, karena
metode ilmiah mensyaratkan hanya pada wilayah empiris. Di luar itu, misalkan
agama memasuki pula penjelajahan yang bersifat transendental yang berada di
luar pengalaman manusia. Sehingga kebenaran agama bersifat imani bukan ilmiah
(Jujun Suriasumantri, 1984:105). Agama bukan merupakan ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah walaupun di sana terdapat pula pengetahuan yang dapat dikaji
secara ilmiah.
Kebudayaan merupakan
totalitas aktivitas atau produk manusia baik yang bersifat material maupun non
material (spiritual). Produk manusia yang bersifat material antara lain alat
teknologis, infrastruktur, arsitektur, biokultural, rekayasa genetika dan lain
sebagainya. Sedangkan produk manusia yang bersifat non material seperti sistem
nilai, sistem pengetahuan, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, kosmologi,
ekologi dan lain sebagainya.
Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu
pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi
kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi
jalannya kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan saling mendukung satu sama
lain. Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang secara pesat,
demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar
tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam kaitannya dengan
pengembangan kebudayaan nasional, perlu adanya usaha pengembangan keilmuan yang
tepat agar perkembangaan kebudayaan berjalan menuju sebuah peradaban yang lebih
baik sesuai dengan semangat kearifan masyarakat setempat (local wisdom).
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. M. Quraish
Shihab, WAWASAN ALQUR’AN, Bandung:
Mizan, 1996
Syaiful Arif,
REFILOSOFI KEBUDAYAAN (Pergeseran Pascastruktural), Yogyakarta: Ar-Ruz Media,
2010
Drs. Surajiyo,
FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA, ,Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Suriasumantri Jujun
S., FILSAFAT ILMU (Sebuah Pengantar Populer), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1984
Tim Dosen Filsafat
Ilmu Fakultas Fisafat UGM, FILSAFAT ILMU (Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan), Yogyakarta: Liberty, 2001
Prof. Dr. H. Jalaluddin,
FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013
Drs. H. Mohammad Adib,
MA, FILSAFAT ILMU, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar