(Oleh: Muhammad Rosid Ridho)
Sang surya mulai sembunyikan wajahnya di balik punggung Merapi. seiring cahaya langit mulai meredup. Penerangan jalan mulai dinyalakan. Sebuah masjid sederhana di dusun Joho, sebuah desa kecil di kab. Sukoharjo nampak terang benderang dengan lampu penerangan. Tiada lama kemudian, Berkumandanglah adzan maghrib dari pengeras suara yang dipasang di atas menara masjid setinggi 30 meter. Lantunan adzan juga terdengar bersahut-sahutan dari berbagai penjuru.
Berduyun-duyun jama'ah mendatangi masjid tersebut untuk melaksanakan shalat. Beberapa di antaranya datang dengan jalan kaki. Sebagian yang lain, mengendarai sepeda motor atau sepeda onthel. Dewasa, remaja, anak-anak, laki-laki maupun perempuan nampak mantap melangkahkan kaki memasuki rumah Allah.
Sebagian dari mereka bahkan hampir tidak pernah absen dalam salat jama'ah lima waktu. Masih tersimpan kuat dalam ingatan, beberapa dari mereka tetap berupaya untuk hadir di masjid meski harus membawa payung atau mantol ketika sedang hujan lebat.
Sebuah pemandangan yang menyejukkan dan menggetarkan hati. Sungguh beruntung bisa berdampingan bersama warga masyarakat religius seperti ini.
Namun. "Eh, ada namunnya". Namun, di satu sisi, hingga salat jama'ah maghrib telah selesai dilaksanakan, ada juga sebagian warga masyarakat yang masih terlihat santai asyik mengobrol di depan teras rumah bersama keluarga atau tetangga. Ada juga orang yang masih tenang bekerja menyelesaikan pekerjaannya.
Mengapa fenomena sosial semacam ini bisa terjadi? Mengapa sebagian umat islam begitu antusias mendatangi masjid ketika dikumandangkan adzan? Mengapa juga sebagian lainnya nampak cuek dengan panggilan adzan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah baiknya jika kita menilik sabda Rasulullah SAW yang artinya "Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika daging itu baik maka baiklah seluruh anggota tubuh. Jika daging iti buruk maka buruklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah Qolbu (hati)".
Ternyata, unsur terpenting dalam mewujudkan sebuah perilaku/perbuatan/sikap bukan akal namun "qalbu" atau hati. akal berfungsi menganalisis informasi yang diserap oleh indra sehingga menghasilkan pemahaman tentang baik, buruk, untung, rugi, wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, dll. Sedangkan hati yang memberikan keputusan apakah perbuatan itu akan dilakukan atau tidak dilakukan. Jika hati telah memutuskan untuk melakukan shalat, maka otomatis kaki berdiri menopang badan, tangan berayun mengangkat tangan, dan mulut berucap takbir. Namun, jika hati memutuskan untuk meninggalkan shalat maka hal tersebut tidak akan terjadi meskipun ia memahami bahwa shalat itu baik dan wajib.
Hati yang dipenuhi dengan iman, akan menggerakkan anggota tubuh untuk mentaati perintah Allah SWT dengan memperbanyak amal sholih. Sebaliknya, hati yang kering dari iman, akan mendorong anggota tubuh untuk melakukan kemaksiatan dalam bentuk meninggalkan ibadah dan menuruti hawa nafsu.
Panggilan adzan sejatinya dapat dijadikan alat ukur keimanan bagi diri pribadi masing-masing. Apakah diri ini sedang full keimanannya sehingga tergerak untuk mendatangi panggilan adzan. Atau kah, diri ini sedang low iman sebab berkali-kali mendengar panggilan adzan namun bersikap abai dan memilih menuruti hawa nafsu untuk kepentingan duniawi yang sejatinya adalah semu.
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga hati kita sebagai qalbun salim. Hati yang selamat. Hati yang bersih. Hati yang senantiasa dipenuhi dengan iman. Hati yang senantiasa mendorong diri untuk melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah SWT baik dalam menjaga salat fardhu berjama'ah maupun amalan shalih lainnya. Aamiiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar